Konstruksi Gender dalam Dunia Gemerlap (dugem) Perempuan Nokturnal di Club/Dance Party Yogyakarta dan Bali

Fahmi Rizki Fahroji
7 min readMar 4, 2018

--

people are gathering in one place and get their pleasure to make dream comes true, source: google.co.id

Gender sebagai sebuah kontruksi sosial budaya yang membedakan status dan peran laki-laki dan perempuan merupakan konsep dan isu yang penting dalam kehidupan sosial. Being gender & Doing Gender selalu dihadapkan kepada persoalan bagaimana munculnya pertentangan dalam kehidupan gender di masyarakat karena aspek gagasan dan nilai yang sangat dipertaruhkan. Seiring berkembangnya zaman, banyak pengaruh budaya luar yang masuk ke Indonesia dan membentuk sebuah sub-kultur baru di kalangan pemuda. Dugem, sebagai sebuah ‘Western Sub-Culture’ telah merambah masuk ke kalangan anak muda. Sub-kultur budaya barat ini memiliki pengaruh dalam membentuk feminitas di Indonesia sehingga muncul beberapa perubahan terhadap perempuan yang terlibat dalam budaya barat ini. Musik Rave atau electronic dance music (EDM) dan dance party menjadi ciri khas di dalam club atau tempat dugem.

Istilah perempuan nokturnal lebih sering didengar dari kalangan anak muda antara usia dua puluhan sampai tiga puluh enam tahun yang suka dugem. Perempuan nokturnal sering mendapat banyak stereotip buruk di kalangan masyarakat, khususnya studi kasus dalam tulisan ini sendiri, yaitu di Yogyakarta dan Bali. Selain itu, hegemoni gender dalam kehidupan sosial telah memarginalkan kaum perempuan dalam kebebasan bertindak. Cuitan di atas juga merupakan sebuah komentar kritis dari (Harriot Beazley 2008) bahwa perempuan muda bukanlah penerima pasif sosialisasi gender hegemonik di Indonesia, namun merupakan agen aktif dalam pembangunan identitas feminin dan negosiasi ekspresi gender mereka. Dalam artikel ini, saya akan menjelaskan bagaimana perempuan muda yang terlibat dalam sub-kultur orang barat mendapat pandangan dari luar, kemudian adanya respons terhadap kontruksi feminitas di masyarakat Indonesia dan bagaimana mereka terlibat dan apa alasan mereka bergabung dalam dunia gemerlap atau dugem. Tulisan ini juga berlandaskan beberapa sumber utama yang membahas bagaimana kehidupan dunia gemerlap di Yogyakarta dan Bali; satu diantaranya tulisan etnografi tentang kehidupan perempuan muda yang gemar dugem.

Dugem: Konstruksi Realitas di Club/Dance prty

Fenomena sosial semacam dugem bagi para perempuan muda ini erat kaitannya dengan persoalan relasi kuasa yang termanifestasi dalam ketimpangan akses. Dari fenomena tersebut sering dikaitkan dengan bebarapa nilai dan gagasan yang ada di masyarakat. Perdebatan mengenai perempuan yang digambarkan sebagai seseorang yang pasif dalam akses pembagian kerja dan aktivitas sosial, telah bias dengan adanya kesetaraan gender. Hal ini muncul dengan adanya ‘power of feminity’ (Foss SK and Foss KA 2009) bahwa perempuan dapat melakukan kegiatan sesuai dengan pilihannya seperti laki-laki umumnya. Selain itu, perempuan menegosiasikan ruang sosial yang berbeda dari anak laki-laki, dan bahwa gadis-gadis yang memasuki wilayah laki-laki di ruang publik yang dilakukan laki-laki, dinilai seperti pelacur, atau pegawai seks. Anggapan-anggapan semacam itu dibahas pada tulisan kali ini untuk mendobrak suatu stigma bahwa perempuan di ruang publik sering kali merasa bahwa mereka dikonseptualisasikan sebagai jenis kelamin “salah” dan berada di tempat yang “salah” (Harriot Beazley 2008).

Kehidupan perempuan tidak dapat dijelaskan secara signifikan jika kita belum mengetahui konstruksi feminitas atau perempuan di masyarakat. Konstruksi semacam ini muncul ketika rezim Soeharto berkuasa (1966–1998). Doktrinasi pada masa Orba telah meluluhlantahkan konstruksi perempuan pada pemikiran orang-orang di zaman itu dengan sebuah konstruksi ideologi ‘State Ibuism’. State Ibuism merupakan penekanan terhadap perempuan dengan peran ‘tradisional’, di mana perempuan berada pada posisi di bawah laki-laki, dan didefinisikan dalam peran yang sempit seperti pembantu rumah tangga dan sebagai ibu dari anak-anak. Akibatnya, sebagian besar anak perempuan di Indonesia tumbuh dengan pengalaman spasial yang terbatas, dan budaya patriarki yang menjadi dominan atas kuasa perempuan.

Bahkan jauh sebelum dugem eksis di Indonesia, telah muncul majalah ‘Playboy’ yang mungkin menjadi bentuk dari komersialisasi tubuh perempuan –majalah yang populer pada abad ke-20 diciptakan oleh Hugh Hefner. Salah satu model yang menjadi komersial tubuh tersebut ialah Marilyn Monroe. Majalah ini semakin berkembang di pasar pria dewasa dan menjadi kerajaan tersendiri. Playboy Enterprise jadi perusahaan besar yang memayungi majalah, tv, radio, hingga edisi digital. Dengan pengelolaan bisnis yang baik, Playboy tak hanya menjadi identitas majalah, melainkan identitas gaya hidup mewah, elegan, berkelas, juga penuh dengan pesta (Nuran Wibisono 2017). Sehingga ada indikasi bahwa perempuan digambarkan dalam dugem sebagai mangsa bagi mata laki-laki, yang mana tubuh perempuan dikomersialisasikan dalam club atau ‘dance party’.

Apa yang terjadi di tempat dugem?

Dugem sebagai salah satu ‘Western Sub-Culture’ memiliki ciri khas tersendiri dalam memangsa konsumen. Aliran musik seperti ‘rave’ dan ‘EDM’ telah merambah dikenalkan oleh media di Indonesia. Awalnya, musik-musik elektronik tersebut eksis di negara asalnya, UK. Dengan beberapa kolaborasi antara musik dan rentetan pesta dansa inilah yang menarik pengunjung dari berbagai macam profesi dan usia, khususnya anak muda. Selain itu, ada komersialisasi tubuh perempuan yang menjadi tontonan bagi laki-laki di dance party. Secara global, dugem tidak begitu dikenal di dunia luar. Hanya saja, sebutan lokal orang Indonesia menyebutnya dunia gemerlap (dugem) karena pesta tersebut dilaksanakan pada malam hari. Oleh karena itu, pengunjung dapat berekspresi pada malam itu karena salah satu yang menjadi tempat privasinya orang-orang, selain tertutup club juga memberikan ruang untuk interaksi secara dekat.

Dalam beberapa kasus, baik di Jogja maupun di Bali, perempuan datang ke tempat clubbing sebagai wujud Eskapisme. Banyak alasan mengapa beberapa perempuan dalam konteks ini melakukan dugem. Salah satu yang terbesar adalah untuk melakukan aktivitas sebentar setelah banyak aktivitas yang dilakukan dengan menghibur diri di club. Namun, stereotip orang-orang pada perempuan malam (nocturnal) berbeda, mereka diidentikkan dengan bad girls. Bad Girls ini biasanya dinilai sebagai wanita yang buruk, keluar malam dan main dengan laki-laki adalah anggapan yang sering terlontar kepada mereka. Pengalaman saya ketika mengunjungi dua dari beberapa club malam di Jogja, interaksi yang hangat dan body shape para lady dancer masih menjadi lauk-pauk mata laki-laki. Beberapa ada yang berdansa di atas panggung bersamanya, juga tidak sedikit dari mereka datang untuk menikmati jajanan minuman khas club di dalam arena. Pun, bertemu-berkenalan-berdansa-dan pulang dengan kenalan baru tidak sedikit saya perhatikan, adapun ketentuan dan peraturannya berlaku di dalam club.

salah satu dance party di Yogyakarta

Lain daripada itu, terdapat beberapa hal yang penting untuk dicerna. Yogyakarta, sebagai salah satu kota terbesar di Jawa memiliki banyak tempat party atau dugem mulai dari kelas menengah ke bawah hingga kelas menengah ke atas. Party club juga mencirikan prestise sosial dan kondisi ekonomi yang datang pada tempat semacam ini. Gaya hidup Hedonis menjadi salah satu sebab dari fenomena tersebut. Menurut hasil penelitian dalam artikel The Glittering World: Female Youth and Nocturnal Dugem Space in Yogyakarta, Indonesia (Tracy Wright Webster 2010), ada beragam alasan para clubbers datang ke ‘dance party’: mulai dari keinginan untuk diakui atau hanya mencari kesenangan semata. Dengan analisis saya setiap kali diskusi di kelas, perempuan ini hanya datang ke tempat dugem ketika ada yang mau membayarinya masuk, bahkan beberapa enggan datang jika sendiri. Selain itu, ada pula yang menerima ajakan dari laki-laki atau temannya supaya tidak kalah gaul atau dianggap kuper (kurang pergaulan). Seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya, orang-orang dugem tersebut tidak mau kalah ‘gaul’ dan supaya terlihat keren atau cool.

Kemudian, sedikit berbeda dengan kasus yang ada di Jogja, Bali menawarkan sebuah cerita yang unik dengan beragam macam alasan dan stereotip bagi perempuan yang dugem. Sama seperti kebanyakan niat awal datang ke club, kebanyakan perempuan nokturnal datang kesana ditemani teman pria, bisa jadi itu suami, pacar atau rekan kerja. Kehidupan dunia malam di Bali sudah dianggap biasa di kalangan masyarakat Bali, terlebih Kuta. Pengalaman saya ketika mengunjungi bali dan bermain malam di Bali sekitar daerah Legian, Kuta. Saya menemukan banyak sekali orang dari berbagai macam latar belakang dengan berbagai macam aktivitas; mulai dari dugem, disko, sampai transaksi jual-beli PSK di jalanan. Perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini berasal dari berbagai latar belakang sosio-ekonomi, agama, kelas dan wilayah di Indonesia. Perempuan Nokturnal ini merupakan pelajar atau pekerja yang tinggal di kos, profesional muda (pengacara, akuntan, wartawan, staf LSM), ahli kecantikan dan pekerja salon; perancang busana; pekerja restoran dan hotel, pemilik usaha kecil, dan gadis bar (Harriot Beazley 2008).

Dalam menjaga citra, perempuan Bali sangat berhati-hati dalam menegosiasikan kehidupan malam mereka dengan masyarakat setempat. Bagi mereka sangat penting untuk menjaga citra ‘gadis baik’ di rumah dan tidak ada yang tahu bahwa mereka pergi ke club malam dan dance party. Uniknya lagi, mereka biasa beralasan kepada orang tua mereka tentang ke mana mereka pergi, mengatakan bahwa mereka akan berbelanja di mal bersama teman-temannya dan tinggal di rumah seorang teman, saat mereka benar-benar pergi dugem karena dengan alasan berbelanja bersama teman mereka akan dianggap benar-benar keluar untuk kebutuhan. Seperti yang Made (22) katakan kepada Harriot Beazley:

“Pada hari Sabtu malam orang tua saya berpikir saya pergi ke mal bersama seorang teman perempuan, dan kemudian tinggal di rumahnya, tapi jika malam itu terlihat normal, maka saya biasanya mengatakan bahwa saya akan belajar di rumah seorang teman walaupun saya akan pergi dugem”

Ruang larut. Hunian semrawut manusia luput

Dalam beberapa kasus yang sudah dipaparkan di atas, perempuan nokturnal di Yogyakarta dan Bali yang datang ke dugem bermaksud untuk melakukan aktivitas sebentar setelah banyak aktivitas yang dilakukan dengan menghibur diri di club. Selain itu, sebagai wujud dari pencarian prestise sosial dan gengsi di lingkungan anak muda. Begitu pula, kentalnya budaya Jawa menghadirkan stereorip bagi perempuan nokturnal itu sendiri. Ada yang menerima kehadiran mereka di masyarakat, ada yang tidak. Hal ini tentu berdasar dari bagaimana perempuan itu dikonstruksikan pada pemikiran setiap individu. Berangkat dari hal tersebut, dugem selain sebagai ruang privat juga merupakan ruang interaksi antar manusia di dalamnya; bagaimana perempuan mampu merasakan kebebasan dalam bertindak layaknya laki-laki dan bagaimana perempuan bernegosiasi di lingkungannya dan membuat pilihannya sendiri dalam melakukan sesuatu.

Terimakasih sudah membaca, tulisan ini merupakan hasil kajian saya mengenai dugem dengan konteks konstruksi gender bagi perempuan nokturnal di Yogyakarta dan Bali.

Referensi:

Beazley, Harriot. 2008. I love Dugem: Young women’s participation in the Indonesian dance party scene. Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific.

Foss SK and Foss KA. 2009. Our journey to repowered feminism: Expanding the feminist toolbox. Women’s Studies in Communication 32(1): 36–62.

Webster, Tracy W. 2010. The Glittering World: Female Youth and Nocturnal Dugem Space in Yogyakarta, Indonesia. Asian Institute of Technology: SAGE Publications.

- https://tirto.id/hugh-hefner-muda-foya-foya-tua-bahagia-cxqR

diakses Jumat, 02 Maret 2018

--

--

Fahmi Rizki Fahroji
Fahmi Rizki Fahroji

Written by Fahmi Rizki Fahroji

Writing opinion, investiga(c)tive excerpts, and unconventional vignettes.

No responses yet